Sunday, April 29, 2007

SEBAB-SEBAB TIMBULNYA BID`AH

Bukan hal yang samar bagi setiap orang, bahwa setiap kejadian memiliki sebab, yang dengannya dapat diketahui benar atau salahnya. Adapun sebab terjadinya bid'ah dengan berbagai ragam bentuknya adalah kembali kepada tiga hal.[Lihat Kitab Al-Bid'ah, karya Syaikh Mahmud Syaltut : 17-36]

Pertama, kebodohan tentang sumber hukum dan cara pemahamannya.

Sumber hukum syar' i adalah Al-Qur' an dan Hadits dan apa yang diikutkan dengan keduanya berupa Ijma' dan Qiyas. Tetapi qiyas tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di antara rukun dalam qiyas adalah bila ada kesamaan alasan hukum dalam dalil pokok dengan hukum cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah semata-mata didirikan berdasarkan peribadatan murni.

Sesungguhnya bentuk kesalahan yang menyebabkan munculnya bid' ah adalah karena kebodohan tentang Sunnah, posisi qiyas dan tingkatannya, juga tentang gaya bahasa Arab.

Kebodohan terhadap hadits mencakup kebodohan tentang hadits-hadits shahih dan kebodohan menggunakan hadits-hadits dalam penentuan hukum Islam. Dimana yang pertama berimplikasi kepada hilangnya hukum, padahal dasar hukumnya adalah hadits shahih, sedang yang kedua berdampak pada tidak dipakainya hadits-hadits shahih dan tidak berpedoman kepadanya, bahkan digantikan posisinya dengan argumen-argumen yang tidak dibenarkan dasar dalam syari'at.

Sedangkan kebodohan terhadap qiyas dalam penentuan hukum Islam adalah yang menjadikan ulama fiqh generasi khalaf yang menetapkan qiyas dalam masalah-masalah ibadah dan menetapkanya dalam agama terhadap apa yang tidak terdapat dalam hadits dan amal, padahal banyaknya kebutuhan untuk mengamalkannya dan tidak ada yang menghalanginya.

Adapun kebodohan tentang gaya bahasa Arab adalah yang menyebabkan dipahaminya dalil-dalil bukan pada arahnya. Demikian itu menjadi sebab adanya hal baru yang tidak dikenal generasi awal.
Sebagai contoh adalah pendapat sebagian manusia tentang hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ
"Jika kamu mendengar orang adzan maka katakanlah seperti apa yang dikatakannya kemudian bershalawatlah kepadaku. "(HR. Muslim)

Mereka menganggap hadits tersebut sebagai perintah kepada orang yang adzan untuk membaca shalawat setelah selesai adzan, dan beliau memintanya untuk mengeraskan suaranya, sehingga hadits ini dijadikan dalil disyari'atkannya bershalawat dengan suara yang keras. Mereka mengarahkan arti perintah bershalawat kepada orang yang adzan dengan alasan bahwa pembicaraan hadits untuk umum kepada semua kaum Muslimin, sedangkan orang yang adzan masuk di dalamnya. Atau bahwa ungkapan "Jika kamu mendengar" mencakup kepada orang yang adzan karena dia juga mendengar adzannya sendiri!

Kedua penakwilan tersebut adalah disebabkan kebodohan tentang gaya bahasa. Sebab permulaan hadits tidak mencakup perintah kepada orang yang adzan, dan akhir hadits datang sesuai dengan awalnya, sehingga tidak mencakup juga kepada orang yang adzan.

Sesungguhnya ulama qurun awal ber-ijma (bersepakat) bahwa mengetahui karakteristik bahasa Arab untuk pemahaman Al-Qur'an dan Hadits adalah sebagai syarat dasar dalam kebolehan untuk berijtihad dan menyimpulkan dalil-dalil syar'i.

Adapun kebodohan tentang tingkatan qiyas dalam sumber hukum Islam, yaitu qiyas boleh dipakai apabila tidak ada hadits dalam masalah tersebut, kebodohan akan hal ini mengakibatkan suatu kaum melakukan qiyas, padahal terdapat hadits yang kuat, namun mereka tidak mau kembali kepadanya sehingga mereka terjerumus ke dalam bid'ah.

Bagi orang yang mencermati berbagai pendapat ulama fiqh niscaya dia mendapatkan banyak contoh tentang hal ini. Dan yang paling dekat adalah apa yang dikatakan sebagian orang dalam mengqiyaskan orang yang adzan dengan orang yang mendengarnya dalam perintah membaca shalawat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah adzan. Padahal terdapat hadits yang sangat jelas mengenai hukum tersebut sebagaimana telah disebutkan, sedangkan hadits harus didahulukan atas qiyas. Sebab redaksi, "Jika kamu mendengar orang adzan... (sampai akhir hadits)" menunjukkan kekhususan perintah membaca shalawat setelah adzan hanya kepada orang yang mendengar adzan.

Kedua, mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum.

Orang yang terkontaminasi hawa nafsunya bila memperhatikan dalil-dalil syar'i, dia akan terdorong untuk menetapkan hukum sesuai dengan selera nafsunya kemudian berupaya mencari dalil yang dijadikan pedoman dan hujjah.

Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman penyimpulan dalil dan penetapan hukum. Demikian itu berarti pemutarbalikan posisi hukum dan merusak tujuan syari'at dalam menetapkan dalil.
Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar penyelewengan dari jalan Allah yang lurus. Firman-Nya,
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit-pun? (QS. Al-Qashash: 50).

Fakta membuktikan bahwa akibat mengikuti hawa nafsu menjadikan berbagai peraturan dalam agama menjadi pudar dan setiap kebaikan menjadi terhapuskan.

Bid' ah karena mengikuti hawa nafsu adalah bentuk bid' ah yang pahng besar dosanya di sisi Allah dan paling besar pelanggarannya terhadap kebaikan. Sebab betapa banyak hawa nafsu yang telah merubah syari'at, mengganti agama dan menjatuhkan manusia ke dalam kesesatan yang nyata.

Ketiga, menjadikan akal sebagai tolok ukur hukum syar'i.

Sesungguhnya Allah menjadikan akal terbatas penalarannya dan tidak menjadikannya sebagai pedoman untuk mengetahui segala sesuatu. Sebab ada beberapa hal yang sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan ada pula yang terjangkau hanya sebatas lahirnya saja dan bukan substansinya. Dan karena keterbatasan akal, maka hampir tidak ada kesepahaman tentang hakikat yang diketahuinya. Sebab kekuatan dan cara pemahaman orang berbeda-beda menurut para peneliti.

Maka, dalam sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal dan penalaran, manusia harus merujuk kepada pembawa berita yang jujur yang dijamin kebenarannya karena mu'jizat yang di bawanya. Dia adalah seorang rasul yang dikuatkan dengan mu'jizat dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang Maha Cermat dengan apa yang Dia ciptakan.

Atas dasar ini, Allah mengutus para rasul-Nya untuk menjelaskan kepada manusia apa yang diridhai Pencipta mereka, menjamin kebahagiaan mereka, dan menjadikan mereka memperoleh keberuntungan dalam kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat.

Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid'ah yang kami sebutkan di atas telah tercakup semua sisinya dan terpadukan pokok-pokoknya dalam hadits,
"Akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang yang adil di antara mereka yang akan menafikan orang-orang yang ekstrim, dan ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan serta penakwilan orang-orang yang bodoh."[Hadits hasan. Lihat Irsyad As-Sari: I/4 oIeh Al-Qasthallani dan Al-Hiththah oleh Shiddiq Hasan Khan: 70.]

Ungkapan "perubahan orang-orang yang ekstrim" mengisyaratkan kepada sikap fanatik dan berlebihan. Sedang ungkapan "ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan" mengisyaratkan kepada yang menganggap baik mendahulukan akal dan mengikuti hawa nafsu dalam penetapan hukum syar' i. Lalu ungkapan "penakwilan orang-orang yang bodoh" mengisyaratkan kepada kebodohan dalam sumber-sumber hukum dan cara pemahamannya dari sumber-sumbernya.

Dinukil dari : "Membedah akar bid'ah - Syekh Ali Hasan"

0 Komentar:

Post a Comment

<< Home