Pada ayat pertama dari kelompok ayat diatas, Allah SWT memerintahkan terhadap orang-orang yang beriman untuk bersegera meraih ampunan dan surga yang sangat luas yang disediakan untuk mereka yang bertakwa. Kemudian pada ayat-ayat selanjutnya Allah SWT menjelaskan beberapa perilaku orang bertakwa tersebut.
Setidaknya ada lima perilaku takwa yang digambarkan Allah pada ayat-ayat di atas, berikut penjelasannya :
1. Berinfak di Waktu Lapang dan Sempit
Termasuk perilaku orang bertakwa adalah berinfaq dalam keadaan bagaimana pun, baik dalam keadaan lapang (berkecukupan) ataupun dalam keadaan sempit (kekurangan). Mereka berusaha untuk selalu dapat membantu orang lain sesuai dengan kemampuan. Mereka tidak pernah melalaikan infaq meski terkadang mereka sendiri sedang kesulitan.
Dalam suatu hadits Rasulullah SAW menyatakan : "Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma." (HR. Muttafaq alaih).
Menurut Rasyid Ridha (AL-Manar III, halaman 123-133), Allah memulai gambaran orang bertakwa dengan infaq karena dua hal berikut :
Pertama; infaq adalah kebalikan dari riba yang dilarang oleh ayat sebelumnya (QS. Ali Imran : 130). Riba adalah pemerasan yang dilakukan oleh orang kaya terhadap orang yang membutuhkan pertolongan dengan memakan hartanya dari bayaran hutang yang berlipat ganda. Sedangkan infaq adalah sebuah pertolongan kepada orang yang membutuhkan tanpa imbalan.
Kedua; Sesungguhnya infaq adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena kecintaan manusia terhadap harta. Oleh karena itu, barangsiapa yang sanggup menginfaqkan harta di waktu lapang dan sempit, jelas menunjukkan sikap kepatuhan, ketundukkan hati, yang merupakan sebuah ketakwaan.
Anjuran dan perintah berinfaq pada waktu lapang adalah untuk menghilangkan perasaan sombong, rakus, aniaya, cinta yang berlebihan terhadap harta, dan lain-lain. Sedangkan anjuran bersedekah di waktu sulit adalah untuk merubah sifat manusia yang lebih suka diberi dari pada memberi. Sebenarnya, sesusah apapun manusia masih bisa memberikan sesuatu di jalan Allah walaupun sedikit. Dorongan ini ada pada diri setiap orang tetapi kadang-kadang tidak muncul. Untuk itu agamalah yang menumbuhkan kesadaran itu.
Termasuk perilaku orang bertakwa adalah berinfaq dalam keadaan bagaimana pun, baik dalam keadaan lapang (berkecukupan) ataupun dalam keadaan sempit (kekurangan). Mereka berusaha untuk selalu dapat membantu orang lain sesuai dengan kemampuan. Mereka tidak pernah melalaikan infaq meski terkadang mereka sendiri sedang kesulitan.
Dalam suatu hadits Rasulullah SAW menyatakan : "Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma." (HR. Muttafaq alaih).
Menurut Rasyid Ridha (AL-Manar III, halaman 123-133), Allah memulai gambaran orang bertakwa dengan infaq karena dua hal berikut :
Pertama; infaq adalah kebalikan dari riba yang dilarang oleh ayat sebelumnya (QS. Ali Imran : 130). Riba adalah pemerasan yang dilakukan oleh orang kaya terhadap orang yang membutuhkan pertolongan dengan memakan hartanya dari bayaran hutang yang berlipat ganda. Sedangkan infaq adalah sebuah pertolongan kepada orang yang membutuhkan tanpa imbalan.
Kedua; Sesungguhnya infaq adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena kecintaan manusia terhadap harta. Oleh karena itu, barangsiapa yang sanggup menginfaqkan harta di waktu lapang dan sempit, jelas menunjukkan sikap kepatuhan, ketundukkan hati, yang merupakan sebuah ketakwaan.
Anjuran dan perintah berinfaq pada waktu lapang adalah untuk menghilangkan perasaan sombong, rakus, aniaya, cinta yang berlebihan terhadap harta, dan lain-lain. Sedangkan anjuran bersedekah di waktu sulit adalah untuk merubah sifat manusia yang lebih suka diberi dari pada memberi. Sebenarnya, sesusah apapun manusia masih bisa memberikan sesuatu di jalan Allah walaupun sedikit. Dorongan ini ada pada diri setiap orang tetapi kadang-kadang tidak muncul. Untuk itu agamalah yang menumbuhkan kesadaran itu.
2. Menahan Marah
Selanjutnya perilaku orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan tidak melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu melakukannya. Kata al-kazhimiin berarti penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh dengan air, lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan marah, sakit hati, dan keinginan untuk menuntut balas masih ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan dan ditutup rapat agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik. (Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, II, halaman 207).
Orang yang mampu menahan marah, oleh Nabi SAW disebut sebagai orang yang kuat. Beliau bersabda :
"Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi (orang yang kuat itu adalah) orang yang mampu menahan dirinya ketika marah." (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
Dalam hadits lain nabi juga bersabda : "Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka di hari kiamat Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan."
Selanjutnya perilaku orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan tidak melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu melakukannya. Kata al-kazhimiin berarti penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh dengan air, lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan marah, sakit hati, dan keinginan untuk menuntut balas masih ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan dan ditutup rapat agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik. (Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, II, halaman 207).
Orang yang mampu menahan marah, oleh Nabi SAW disebut sebagai orang yang kuat. Beliau bersabda :
"Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi (orang yang kuat itu adalah) orang yang mampu menahan dirinya ketika marah." (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
Dalam hadits lain nabi juga bersabda : "Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka di hari kiamat Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan."
3. Memaafkan
Memaafkan berarti menghapuskan. Jadi seseorang baru dikatakan memaafkan orang lain apabila ia menghapuskan kesalahan orang lain itu, kemudian tidak menghukumnya sekalipun ia mampu melakukannya. Ini adalah perjuangan untuk pengendalian diri yang lebih tinggi dari menahan marah. Karena menahan marah hanya upaya menahan sesuatu yang tersimpan dalam diri, sedangkan memaafkan, menuntut orang untuk menghapus bekas luka hati akibat perbuatan orang. Ini tidak mudah, oleh karena itu pantaslah dianggap perilaku orang bertakwa.
Untuk memberikan dorongan kepada manusia agar mau memaafkan, Allah berulang kali memerintahkannya di dalam Al-Qur'an, antara lain dalam surat Al-A'raf : 199, Al-Hijr : 85, dan Asy-Syura 43. Sementara itu Rasulullah SAW juga menjelaskan keuntungan orang-orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, di antaranya : "Barangsiapa memberi maaf ketika dia mampu membalas, maka Allah akan mengampuninya saat ia kesukaran. Dan Orang yang memaafkan terhadap kezhaliman, karena mengharapkan keridhaan Allah, maka Allah akan menambah kemuliaan kepadanya di hari kiamat." (Lengkapnya dapat dilihat dalam Muhammad Ahmad al-Hufy, Edisi Indonesia, halaman 272).
Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah kita, adalah seseorang yang sangat pemaaf. Aisyah RA berkata : "Saya belum pernah melihat Rasulullah SAW membalas karena beliau dianiaya selama hukum Allah tidak dilanggar. Beliau akan memaafkan kesalahan orang lain yang mengenai dirinya, karena itu adalah sifat utama."
Memaafkan berarti menghapuskan. Jadi seseorang baru dikatakan memaafkan orang lain apabila ia menghapuskan kesalahan orang lain itu, kemudian tidak menghukumnya sekalipun ia mampu melakukannya. Ini adalah perjuangan untuk pengendalian diri yang lebih tinggi dari menahan marah. Karena menahan marah hanya upaya menahan sesuatu yang tersimpan dalam diri, sedangkan memaafkan, menuntut orang untuk menghapus bekas luka hati akibat perbuatan orang. Ini tidak mudah, oleh karena itu pantaslah dianggap perilaku orang bertakwa.
Untuk memberikan dorongan kepada manusia agar mau memaafkan, Allah berulang kali memerintahkannya di dalam Al-Qur'an, antara lain dalam surat Al-A'raf : 199, Al-Hijr : 85, dan Asy-Syura 43. Sementara itu Rasulullah SAW juga menjelaskan keuntungan orang-orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, di antaranya : "Barangsiapa memberi maaf ketika dia mampu membalas, maka Allah akan mengampuninya saat ia kesukaran. Dan Orang yang memaafkan terhadap kezhaliman, karena mengharapkan keridhaan Allah, maka Allah akan menambah kemuliaan kepadanya di hari kiamat." (Lengkapnya dapat dilihat dalam Muhammad Ahmad al-Hufy, Edisi Indonesia, halaman 272).
Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah kita, adalah seseorang yang sangat pemaaf. Aisyah RA berkata : "Saya belum pernah melihat Rasulullah SAW membalas karena beliau dianiaya selama hukum Allah tidak dilanggar. Beliau akan memaafkan kesalahan orang lain yang mengenai dirinya, karena itu adalah sifat utama."
4. Berbuat Ihsan
Ini adalah tingkat yang lebih tinggi dari tiga perilaku takwa sebelumnya. Allah mencintai orang yang berbuat ihsan dengan berbagai cara yang mungkin dilakukannya. Dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Rasyid Ridha mengemukakan suatu riwayat yang menggambarkan bahwa berbuat ihsan itu adalah sebagai puncak dari tiga sifat utama sebelumnya.
"Seorang budak melakukan sesuatu pelanggaran yang membuat tuannya sangat marah. Budak itu berkata kepada tuannya : Tuan, Allah SWT berfirman wal kazhimiin alghaizha. Maka tuannya menjawab : Aku telah menahan marahku. Budak itu berkata lagi : Allah telah berfirman walafiina aninnaas,.Yang dijawab oleh tuannya : Kamu telah kumaafkan. Budak itupun melanjutkan lagi : Bahwa Allah telah berfirman wallahu yuhibbul muhsiniin. Tuannya menjawab : Pergilah! Engkau merdeka karena Allah." (Muhammad Rasyid Ridha, IV, halaman 135). Riwayat senada juga dikemukakan oleh Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat ini.
Ini adalah tingkat yang lebih tinggi dari tiga perilaku takwa sebelumnya. Allah mencintai orang yang berbuat ihsan dengan berbagai cara yang mungkin dilakukannya. Dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Rasyid Ridha mengemukakan suatu riwayat yang menggambarkan bahwa berbuat ihsan itu adalah sebagai puncak dari tiga sifat utama sebelumnya.
"Seorang budak melakukan sesuatu pelanggaran yang membuat tuannya sangat marah. Budak itu berkata kepada tuannya : Tuan, Allah SWT berfirman wal kazhimiin alghaizha. Maka tuannya menjawab : Aku telah menahan marahku. Budak itu berkata lagi : Allah telah berfirman walafiina aninnaas,.Yang dijawab oleh tuannya : Kamu telah kumaafkan. Budak itupun melanjutkan lagi : Bahwa Allah telah berfirman wallahu yuhibbul muhsiniin. Tuannya menjawab : Pergilah! Engkau merdeka karena Allah." (Muhammad Rasyid Ridha, IV, halaman 135). Riwayat senada juga dikemukakan oleh Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat ini.
5. Cepat Menyadari Kesadaran lalu Beristighfar
Perilaku ini menggambarkan bagaimana orang yang bertakwa menghadapi dirinya sendiri, yaitu bila dia sengaja atau tidak melakukan perbuatan dosa seperti membunuh, memakan riba, korupsi, berzina, atau menganiaya diri sendiri seperti minum khamar, membuka aurat, tidak shalat, tidak berpuasa, dan sebagainya, mereka langsung ingat Allah, sehingga merasa malu dan takut kepadaNya. Lalu ia cepat menyesali semua perbuatannya dan memohon ampun sambil bertekad tidak akan mengulangi lagi kesalahan itu.
Orang mukmin yang bertakwa setelah bertaubat tidak akan mengulang pelanggaran yang telah dilakukannya, karena ia akan selalu ingat dan takut kepada Allah.
Dalam ayat ini Allah juga menegaskan dua hal. Pertama, hanya Allah lah tempat memohon ampunan, karena hanya Allah juga yang mampu memberi ampunan. Kedua, ayat ini menunjukkan betapa Maha Pemaaf dan Pengampunnya Allah.
Perilaku ini menggambarkan bagaimana orang yang bertakwa menghadapi dirinya sendiri, yaitu bila dia sengaja atau tidak melakukan perbuatan dosa seperti membunuh, memakan riba, korupsi, berzina, atau menganiaya diri sendiri seperti minum khamar, membuka aurat, tidak shalat, tidak berpuasa, dan sebagainya, mereka langsung ingat Allah, sehingga merasa malu dan takut kepadaNya. Lalu ia cepat menyesali semua perbuatannya dan memohon ampun sambil bertekad tidak akan mengulangi lagi kesalahan itu.
Orang mukmin yang bertakwa setelah bertaubat tidak akan mengulang pelanggaran yang telah dilakukannya, karena ia akan selalu ingat dan takut kepada Allah.
Dalam ayat ini Allah juga menegaskan dua hal. Pertama, hanya Allah lah tempat memohon ampunan, karena hanya Allah juga yang mampu memberi ampunan. Kedua, ayat ini menunjukkan betapa Maha Pemaaf dan Pengampunnya Allah.
Untuk mereka yang memenuhi lima kriteria diatas, Allah menjanjikan balasan berupa ampunan, selamat dari siksaan, mendapat pahala yang besar, dan memperoleh surga yang sangat luas dan menyenangkan. Itu semua adalah sebaik-baik balasan dan imbalan Allah terhadap amal yang telah mereka lakukan.
Sumber : www.kotasantri.com
0 Komentar:
Post a Comment
<< Home